Wisata Sejarah ke Museum Anti Kolonial Pertama di Indonesia



Sabtu, 3 Maret 2018, AMI DKI Jakarta "Paramita Jaya" menggelar Wisata Sejarah untuk pertama kalinya. Hajatan perdana ini mengunjungi museum yang baru saja diresmikan pada hari Minggu, 11 Februari 2018 lalu, yakni Museum Multatuli di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Meski peminat wisata ini banyak, namun jumlah peserta dibatasi 100 orang saja.

Perjalanan diawali dengan moda transportasi Commuter Line dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Rangkasbitung. Dalam perjalanan yang memakan waktu sekitar dua jam tersebut, diisi dengan informasi dari Pemandu Wisata mengenai sejarah Rangkasbitung. Setibanya di Stasiun Rangkasbitung, peserta disambut dengan 55 becak yang siap mengantar menuju Museum Multatuli di Alun-alun Lebak, Banten.


Informasi di Museum Multatuli disajikan secara interaktif

Pemandu Museum Multatuli dengan hangat menyambut dan menjelaskan seputar sosok Multatuli, beserta infomasi tentang museum tersebut. Museum ini disebut-sebut sebagai museum anti colonial pertama di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan, karena sosok yang diabadikan sebagai nama museum tersebut, memang sosok yang kontroversial dan sangat erat dengan sejarah Rangkasbitung. Multatuli, adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker, pria kelahiran Amsterdam, 2 Maret 1820 ini menyaksikan praktik pemerasan oleh bupati setempat terhadap rakyat Lebak, ketika ia menjalani jabatan sebagai asisten Wedana Lebak.

Pengalaman pahitnya itu dituangkan dalam novelnya yang berjudul Max Havelaar (1860). Sebelum novel tersebut beredar, orang-orang di Hindia Belanda tidak menyadari bahwa mereka sedang dijajah. Multatuli pada dasarnya hanya menginginkan keadilan dalam kolonialisme. Tanpa disadari, novel tersebut menginspirasi gerakan melawan kolonialisme. Politik Etis lahir karena sebagai imbas munculnya novel tersebut. Pemerintah Hindia Belanda berusaha meredam pergolakan dengan gerakan 'balas budi' terhadap rakyat jajahan, dimana sebagian rakyat memperoleh kesempatan untuk sekolah.

Peserta tour wisata sejarah Museum Multatuli

Museum Multatuli berdiri di bangunan bekas kantor Kewedanan Rangkasbitung di Alun-Alun Timur No. 8, Rangkasbitung, Lebak, Banten. Dibangun pada tahun 1920-an dengan luas 1.482 meter persegi. Bangunannya sangat mudah ditemui karena berada di sisi kanan Kantor Bupati, berdampingan dengan Perpustakaan Saidjah dan Adinda. Perpustakaan tersebut merupakan perpustakaan daerah terbesar di Banten. 

Koleksi museum ini antara lain, tegel bekas rumah Multatuli. Tegel yang berasal dari rumah Multatuli di Lebak 'diselamatkan' seorang turis Belanda pada 1980-an, sebelum bangunannya dibongkar. Tegel itu kemudian disumbangkan kepada Perhimpunan Multatuli di Belanda. Terdapat dua pasang tegel warna hitam dan putih. Yang tersimpan di museum ini adalah yang berwarna putih, sedangkan yang hitam tetap menjadi koleksi Perhimpunan Multatuli di Belanda. Selain itu juga ada litografi/lukisan wajah Multatuli, peta lama Lebak, arsip-arsip Multatuli, dan buku-buku lainnya. Namun, koleksi yang sangat menarik adalah surat-surat Multatuli dengan pejabat Hindia Belanda tentang kondisi masyarakat Lebak, serta Novel Max Havelaar edisi pertama yang masih berbahasa Perancis.

 
Dengan becak, peserta diantar menuju Museum Multatuli

Meski namanya Museum Multatuli, namun museum ini berbicara tentang gerakan anti kolonialisme di  berbagai wilayah di Nusantara sejak abad 14 hingga berdirinya Republik Indonesia. Museum Multatuli memiliki tujuh ruangan dengan empat tema, yakni Sejarah kolonialisme di Indonesia; Multatuli dan karyanya; Sejarah Lebak dan Banten; serta Perkembangan Rangkasbitung masa kini. Kepala Seksi Cagar Budaya dan Museum, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Lebak, Bapak Ubaidillah Muchtar, mengatakan bahwa, “isi  museum dibuat secara interaktif dan informatif, dengan adanya ruangan audiovisual dan labirin”. Di halaman museum, terdapat patung Multatuli karya pematung Dolorosa Sinaga, serta patung Saijah dan Adinda, dua tokoh dalam novel Max Havelaar.

Dalam program, publiknya, Museum Multatuli mengundang beragam komunitas untuk menggunakan pendopo yang terdapat di bagian depan museum. Pendopo ini dapat digunakan untuk beragam aktivitas seperti seminar, workshop, diskusi, pemutaran film, bedah buku, dan lainnya. 

Berburu Oleh-oleh khas Lebak

Dari Museum Multatuli, para peserta diajak mengunjungi bekas rumah milik Multatuli, yang letaknya tidak jauh dari museum tersebut. Kuliner khas Lebak pun disajikan sebagai hidangan makan siang untuk para peserta. Sebelum kembali pulang, peserta dapat membeli oleh-oleh khas Lebak sebagai buah tangan yang dijajakan di sekitar Museum Multatuli.

Terkait kegiatan ini, Ketua AMI DKI Jakarta Paramita Jaya, Bapak Yiyok T. Herlambang menyampaikan rasa senangnya bahwa kegiatan wisata sejarah disambut baik oleh masyarakat dan berjalan dengan lancar. Sementara itu, Wakil Ketua I, Bapak Budi Trinovari menyatakan antusiasnya dengan wisata sejarah ini, dan berharap akan menjadi program rutin untuk menambah wawasan sejarah para insan pengelola museum. Salah satu peserta menyampaikan rasa senang bisa bergabung dalam wisata sejarah ini, pun demikian dengan pelayanan yang diberikan AMI DKI Jakarta Paramita Jaya juga Museum Multatuli.

Flyer Wisata Sejarah AMI DKI Jakarta Paramita Jaya

Comments

Popular posts from this blog

Sejarah Berdirinya Asosiasi Museum Indonesia DKI Jakarta (AMIDA) Paramita Jaya

PENGUKUHAN KETUA DAN PENGURUS ASOSIASI MUSEUM INDONESIA (AMI) DKI JAKARTA “PARAMITA JAYA” PERIODE 2017 – 2020 OLEH GUBERNUR DKI JAKARTA

Menguak Keaslian Lukisan Bersama Museum Basuki Abdullah dan AMIDA DKI Jakarta “Paramita Jaya”